Etika Orang Jepang
Kunshi wa hitori otsutsa shinu
Orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri
(Pepatah Orang Jepang)
Etika orang Jepang didasari dengan tujuan membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan. Mereka memprioritaskan komunitas, keberpihakan ekstrim pada pribadi dinilai merusak kerukunan komunitas. Sehingga mudah diamati, masyarakat jepang karakternya relatif homogen. Cara berjalan, kesantunan dan keramahan bertutur kata, penampilan umum, tata kota, format tempat wisata, dialek bahasa dsb. Karater monolitik begini membuat saya ”PD menulis generalisasi pars prototo” tentang karakter orang Jepang, bahwa misalnya apa yang saya lihat dalam kehidupan diruang sempit di lingkungan RS onomichi menggambarkan miniatur yang paralel terhadap kehidupan orang Jepang secara luas. Di Rs Onomichi saya mengamati bahkan handphone diklinik-pun memiliki yang sama bentuk warna hingga bunyi ringtone-nya.
Dalam konteks keragaman ini, tidak ada yang menandingi Indonesia, negeri kita adalah negeri yang kaya dengan khazanah budaya, keragaman suku dan bahasa. Menilai budaya orang Aceh pasti berbeda dengan orang Madura, juga lain protite orang Batak dengan Betawi. Indonesia adalah sebuah kemukjizatan archipelago yang memiliki 300 suku dan 17.000 kepulauan, sebuah kekayaan yang patut kita banggakan. Kelak jika kebhinekaan bisa dikelola dengan baik menjadi sumber kekuatan yang tidak terperikan. Indonesia adalah ”The Sleeping Giant” yang hingga kini, belum menemukan formula yang tepat bagaimana mengejar ketertinggalan semua ini.
c. Etos kerja Jepang
Dan manusia tidak akan mendapatkan apa-apa
kecuali apa yang dikerjakannya” (QS 53:39).
Etos kerja orang Jepang adalah hal yang paling menarik diamati, umumnya imagi orang Jepang adalah streotie ”workholic”. Orang Jepang bekerja ternyata tidak sekejar untuk memperoleh gaji, tapi dalam pekerjaan itu-lah terdapat kelezatan hidup. Dr. Takeshi mengatakan seandainya seorang Jepang ditanya : "Jika ada kesempatan anda menjadi milyuner dan kemudian tidak perlu bekerja lagi tinggal menikmati saja, apakah anda akan berhenti bekerja ?", maka dipastikan orang Jepang tersebut akan menjawab, "Saya tidak akan berhenti, terus bekerja." Bagi orang Jepang kerja itu seperti bermain dengan kawan akrab.
Harian Republika hari Minggu 24 Juni 2007 menceritakan secuplik kisah yang bisa dijadikan ilustrasi tersebut ”..Hiroshi Ebihara seharusnya sudah pensiun tahun yang lalu. Kini usianya sudah 63 tahun, tetapi lelaki tua itu tetap bekerja setiap hari. Bukan karena keharusan, tapi ia memang menginginkannya. "Saya ingin bekerja sampai umur 70 tahun, kata Ebihara optimists. Perusahaan mengizinkan saya bekerja hingga usia 70 tahun, jadi sekarang giliran saya menunjukkan ras terimakasih dan bekerja untuk perusahaan selama masih dizinkan". Pria yang bertanggung jawab atas lingkungan tempat Ebihara bekerja adalah Noburi Kamoda. Hebatnya ternyata umur pak Kamoda ini jauh lebih tua ketimbang Ebihara sendiri yakni : 76 tahun !
Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah. Di ruang operasi saya kadang merasa geleng-geleng kepala, bagaimana semua petugas OK, perawat, dokter bedah, anestesi, instrument dan pembantu kamar OK masih memiliki semangat dan energi yang sama setelah jam tugas akan berakhir. Hingga larut malam pukul 24.00 mereka akan menyusun rapi dan bersih semua keperluan operasi esok hari sama situasinya dengan ketika jam operasi akan dimulai, masih bugar ! Tampaknya tidak ada gurat kekecewaan dan keluh kesah pada pekerjaan berdurasi panjang ataupun giliran lembur kerja. Kalo orang jawa ”mangan ora mangan yang penting ngumpul maka orang Jepang biar gak makan asal tetap bekerja kelihatannya asyik, kenyataan di ruang operasi begitu.
Bentuk apresiasi kepada seseorang berdasarkan prestasi kerja (achievement) lagi-lagi sesuai dengan konsep Islam. Sosiolog Max Weber menggolongkan Islam dalam klasifikasi ajaran monoteisme etik, yakni yang mengajarkan keselamatan diperoleh lewat kebajikan (amal shalih); bukan sakramental (upacara-upacara suci) atau sacrifation (penyelamatan lewat sesaji atau tumbal). Tuhan didalam Islam merupakan wujud Etik, yang hanya bisa didekati dengan kebaikan amal shalih. ”Barangsiapa ingin bertemu Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih” (QS 18:110). Menurut Weber pula, Islam merupakan tipe agama yang mengajarkan achievement orientation (orientasi berdasarkan prestasi kerja).
Suatu hari Nabi Muhammad saw menemui seorang sahabatnya bernama Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena bekerja sebagai tukang penghancur batu. Nabi bertanya “wahai Saad, mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh ?” Saad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku ya Rasul Allah”. Nabi yang mulia seketika mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, “Demi Allah, Saad, tangan yang seperti ini tidak akan pernah tersentuh api neraka”. Saya suka kata-kata hikmah Emha Ainun Nadjib ini : “Kebahagiaan saya adalah menyaksikan manusia tumbuh maksimal, Sorga saya adalah menyaksikan anak-anak muda bekerja keras, sampai tuntas keringatnya, sampai pecah-pecah tangannya,sehingga kelak akan dicium oleh Rasulullah saw”.
………………………………………………………………………………………………………………………………..
Dekrit bahwa Tuhan menegaskan yang terbaik dikalangan manusia adalah yang bertaqwa menggambarkan kecenderungan itu. Taqwa merupakan ’prestasi ruhani’, bukan sebuah ”gifft” dari langit yang muncul tiba-tiba. Ketaqwaan ditempuh lewat serangkaian ujian dan jalan yang mendaki lagi sulit menurut perumpamaan Qur’an. Dan kelak dimahkamah Ilahi, setiap perbuatan manusia ditera dengan adil, di kalungkan semua prestasi dan prasasti yang pernah dilakukannya selama didunia pada lehernya, dan atas dasar achievemnet itulah penghargaan atau hukuman diperoleh manusia.
Salah satu yang dianggap sumber kemunduran Indonesia menurut alm. CakNur adalah soal etos kerja. Etos kerja bangsa kita dinilai sangat lemah. Sebuah gugatan kemudian muncul, apakah ada hubungannya dengan Islam ? sebagai anutan nilai sistem moral yang dianut mayoritas negeri ini apakah Islam membentuk mentalitas etos kerja tsb? Tentu saja tidak. Dan ini sekali lagi bukti hubungan membias bahwa nilai-nilai Islam tidak hadir sebagai spirit hidup tapi hanya tercermin dalam ritualitas simbolik, yang seringkali muncul adalah pertengkarkan persoalan-persoalan yurisrudensi (fiqh) tentang sesuatu ini boleh atau tidak. Agama dibonsai, padahal ia lebih luas dari sekedar masalah hukum dan ritual formal…. Semua dimensi hidup ini sendiri sesungguhnya adalah hamparan sejadah panjang…. Sayang bila dinegeri kita Islam hanya hadir sekedar menjadi ritual simbolik, belaka.
Kamis, 22 Januari 2015
Etika Orang Jepang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar