Kamis, 22 Januari 2015

Sawer Panganten

SAWER PANGANTEN

Pun sapun amit paralun
ka batara ka batari
nu di luhur nu dihandap
nu ngageugeuh bumi langit
di buana panca tengah
nu ngajaring beurang peuting

kula amit paralun
nitiskeun kandungan ati
medarkeun kandungan rasa
marepehan hirup hurip
papaes pamageuh rasa
panungkus aci birahi

neda angung nya tawakup
hampura nu caralik
darana dagoan heula
mokaha kesel saeutik
regepkeun ku sadayana
sepuh anom menak kuring

seja nuturkeun piwuruk
kawitan ku pribumi
ngagenten ibu ramana
heulakeun panganten istri
nyai geulis kembang soca
takanan beurang jeung peuting

kacaroge masing tuhu
mipageran lahir batin
turut sugri parentahna
singkiran sugan sungki
peupeujeuh rek ngabatuah
bisi kasibat kabadi

sing jauh tina saligkuh
malah jadi repeh rapih
ka sanak kadang sing jembar
miasih ka kulawargi
bakti hormat jeung tilawat
ulah kendat masing meujit

runtut jeung batur salembur
rapih jeung saeusi bumi
welas manah ka sasama
papagon dawuhan nabi
malar natrat nugrahana
karamat agama suci

papayungna jembar rahayu
pipilis pamager sari
peguh galih katajian
taji awit laki rabi;
hiap kari pamgetna
agus pepeling ati

datang uga cunduk waktu
katitih katarik tulis
ujang dikawasa murba
nangtayungan beurang peuting
wajib mangku ngasuh garwa
mikadeudeuh ngaping-ngaping

ka gawa sing asak malum
pangger mageuhan kadali
lamun garwa pareng salah
wurukan ku budi manis
ulah dihoak disentak
bisi mangpaung muringis

pameget sing kukuh pengkuh
ulah lamo ngumbar biwir
sakedik-sakedik talak,
bisi kaduhung di ahir
harempoj ngurumanggassay
lumpuh dipeureuh kapeurih

kudu emut ka pitutur
titisan pancuran awit
urang tedak Pajajaran
jajar bojo jeung salaki
dayeuhna Galih Pakuan
paku pageuh galih asih

mapan ratuna kaceluk
kawentar Sang Siliwangi
silih asih samistina
calik jajar paku aji
jejer jajar teka reuay
titisan jatining asih

nuwun mundur ti cumatur
panjang mun tetek diwinjik
sauetik tiba patrina
jadi tumbaling paripih
bisi kesel nu ngantosan
sumangga geura linggih

(sumber pusaka sunda 1925-09-3(15))






















Etika Orang Jepang

Etika Orang Jepang
Kunshi wa hitori otsutsa shinu
Orang hebat selalu menjaga perilakunya, meskipun sedang sendiri
(Pepatah Orang Jepang)
 
Etika orang Jepang didasari dengan tujuan membentuk hubungan baik di dalam komunitas. Sesudah Restorasi Meiji, pemerintah Meiji sangat menekankan kesetiaan pada negara. Sesudah perang dunia kedua, objek kesetiaan orang Jepang beralih pada perusahaan. Mereka memprioritaskan komunitas, keberpihakan ekstrim pada pribadi dinilai merusak kerukunan komunitas. Sehingga mudah diamati, masyarakat jepang karakternya relatif homogen. Cara berjalan, kesantunan dan keramahan bertutur kata, penampilan umum, tata kota, format tempat wisata, dialek bahasa dsb. Karater monolitik begini membuat saya ”PD menulis generalisasi pars prototo” tentang karakter orang Jepang, bahwa misalnya apa yang saya lihat dalam kehidupan diruang sempit di lingkungan RS onomichi menggambarkan miniatur yang paralel terhadap kehidupan orang Jepang secara luas. Di Rs Onomichi saya mengamati bahkan handphone diklinik-pun memiliki yang sama bentuk warna hingga bunyi ringtone-nya.
Dalam konteks keragaman ini, tidak ada yang menandingi Indonesia, negeri kita adalah negeri yang kaya dengan khazanah budaya, keragaman suku dan bahasa. Menilai budaya orang Aceh pasti berbeda dengan orang Madura, juga lain protite orang Batak dengan  Betawi. Indonesia adalah sebuah kemukjizatan archipelago yang memiliki 300 suku dan 17.000 kepulauan, sebuah kekayaan yang patut kita banggakan. Kelak jika kebhinekaan bisa dikelola dengan baik menjadi sumber kekuatan yang tidak terperikan. Indonesia adalah ”The Sleeping Giant” yang hingga kini, belum menemukan formula yang tepat bagaimana mengejar ketertinggalan semua ini.
c. Etos kerja Jepang
Dan manusia tidak akan mendapatkan apa-apa
kecuali apa yang dikerjakannya” (QS 53:39).
Etos kerja orang Jepang adalah hal yang paling menarik diamati, umumnya imagi orang Jepang adalah  streotie ”workholic”. Orang Jepang bekerja ternyata tidak sekejar untuk memperoleh gaji, tapi dalam pekerjaan itu-lah terdapat kelezatan hidup. Dr. Takeshi mengatakan seandainya seorang Jepang ditanya : "Jika ada kesempatan anda menjadi milyuner dan kemudian tidak perlu bekerja lagi tinggal menikmati saja, apakah anda akan berhenti bekerja ?", maka dipastikan orang Jepang tersebut akan menjawab, "Saya tidak akan berhenti, terus bekerja." Bagi orang Jepang kerja itu seperti bermain dengan kawan akrab.                                                             
Harian Republika hari Minggu 24 Juni 2007 menceritakan secuplik kisah yang bisa dijadikan ilustrasi tersebut ”..Hiroshi Ebihara seharusnya sudah pensiun  tahun yang lalu. Kini usianya sudah 63 tahun, tetapi lelaki tua itu tetap bekerja setiap hari. Bukan karena keharusan, tapi ia memang menginginkannya. "Saya ingin bekerja sampai umur 70 tahun, kata Ebihara optimists. Perusahaan mengizinkan saya bekerja hingga usia 70 tahun, jadi sekarang giliran saya menunjukkan ras terimakasih dan bekerja untuk perusahaan selama masih dizinkan". Pria yang bertanggung jawab atas lingkungan tempat Ebihara bekerja adalah Noburi Kamoda. Hebatnya ternyata umur pak Kamoda ini jauh lebih tua ketimbang Ebihara sendiri yakni : 76 tahun !
Biasanya di Jepang kerja dilakukan oleh satu tim. Dia ingin berhasil dalam permainan ini, dan ingin menaikkan kemampuan diri sendiri. Dan bagi dia kawan-kawan yang saling mempercayai sangat penting. Karena permainan terlalu menarik, dia kadang-kadang lupa pulang ke rumah.  Di ruang operasi saya kadang merasa geleng-geleng kepala, bagaimana semua petugas OK, perawat, dokter bedah, anestesi, instrument dan pembantu kamar OK masih memiliki semangat dan energi yang sama setelah jam tugas akan berakhir. Hingga larut malam pukul 24.00 mereka akan menyusun rapi dan bersih semua keperluan operasi esok hari sama situasinya dengan ketika jam operasi akan dimulai, masih bugar ! Tampaknya tidak ada gurat kekecewaan dan keluh kesah pada pekerjaan berdurasi panjang ataupun giliran lembur kerja. Kalo orang jawa ”mangan ora mangan yang penting ngumpul maka orang Jepang biar gak makan asal tetap bekerja kelihatannya asyik, kenyataan di ruang operasi begitu.
Bentuk apresiasi kepada seseorang berdasarkan prestasi kerja (achievement) lagi-lagi sesuai dengan konsep Islam. Sosiolog Max Weber menggolongkan Islam dalam klasifikasi ajaran monoteisme etik, yakni yang mengajarkan keselamatan diperoleh lewat kebajikan (amal shalih); bukan sakramental (upacara-upacara suci) atau sacrifation  (penyelamatan lewat sesaji atau tumbal). Tuhan didalam Islam merupakan wujud Etik, yang hanya bisa didekati dengan kebaikan amal shalih.  ”Barangsiapa ingin bertemu Tuhannya maka hendaklah ia beramal shalih” (QS 18:110). Menurut Weber pula, Islam merupakan tipe agama yang mengajarkan achievement orientation (orientasi berdasarkan prestasi kerja).  
Suatu hari Nabi Muhammad saw menemui seorang sahabatnya bernama Sa’ad al-Anshari yang memperlihatkan tangannya yang melepuh karena bekerja sebagai tukang penghancur batu. Nabi bertanya “wahai Saad, mengapa tanganmu hitam, kasar dan melepuh ?” Saad menjawab, “tangan ini kupergunakan untuk mencari nafkah bagi keluargaku ya Rasul Allah”. Nabi yang mulia seketika mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata, “Demi Allah, Saad, tangan yang seperti ini tidak akan pernah tersentuh api neraka”.  Saya suka kata-kata hikmah Emha Ainun Nadjib ini : “Kebahagiaan saya adalah menyaksikan manusia tumbuh maksimal, Sorga saya adalah menyaksikan anak-anak muda bekerja keras, sampai tuntas keringatnya, sampai pecah-pecah tangannya,sehingga kelak akan dicium oleh Rasulullah saw”.
………………………………………………………………………………………………………………………………..
Dekrit bahwa Tuhan menegaskan yang terbaik dikalangan manusia adalah yang bertaqwa menggambarkan kecenderungan itu. Taqwa merupakan ’prestasi ruhani’, bukan sebuah ”gifft” dari langit yang muncul tiba-tiba. Ketaqwaan ditempuh lewat serangkaian ujian dan jalan yang mendaki lagi sulit menurut perumpamaan Qur’an. Dan kelak dimahkamah Ilahi, setiap perbuatan manusia ditera dengan adil, di kalungkan semua prestasi dan prasasti yang pernah dilakukannya selama didunia pada lehernya, dan atas dasar achievemnet itulah penghargaan atau hukuman diperoleh manusia.
Salah satu yang dianggap sumber kemunduran Indonesia menurut alm. CakNur adalah soal etos kerja. Etos kerja bangsa kita dinilai sangat lemah. Sebuah gugatan kemudian muncul, apakah ada hubungannya dengan Islam ? sebagai anutan nilai sistem moral yang dianut mayoritas negeri ini apakah Islam membentuk mentalitas etos kerja tsb? Tentu saja tidak. Dan ini sekali lagi bukti hubungan membias bahwa nilai-nilai Islam tidak hadir sebagai spirit hidup tapi hanya tercermin dalam ritualitas simbolik, yang seringkali muncul adalah pertengkarkan persoalan-persoalan yurisrudensi (fiqh) tentang sesuatu ini boleh atau tidak. Agama dibonsai, padahal ia lebih luas dari sekedar masalah hukum dan ritual formal…. Semua dimensi hidup ini sendiri sesungguhnya adalah hamparan sejadah panjang….  Sayang bila dinegeri kita Islam hanya hadir sekedar menjadi ritual simbolik, belaka.

Kamis, 28 November 2013

Sangkuriang

SAMPURASUN,,, !!!
Tabé, pun.
Amit sejaning unjuk uninga, réhing dumasar kana rasa
syukur “Nuhun” ka Nu Ngersakeun, Anu Maha Agung,
jisim kuring seja ngadugikeun gerentesna kereteg, anu
mangrupi karyana rasa, kersaning anu ngawasakeun,
hasil tina teuteuleuman, guguaran, kokoréh, tur mulung
pulung ti anu ngalangkung dina jajantung, galuh agung,
manawi bahan katampi, kalayan aya guna katut
mangpaatna kanggo urang sadaya, malar geusan jadi
panungtun tur pangjejer dina nutur lumakuna
léléngkahan hirup, sasieureun sabeunyeureun,
kasanggakeun.
Tawis rasa anu dumasar kana, rasa “nyaah ka sasama,
béla ka bangsa, bakti ka lemah cai, ngarawat tur
ngarumat budaya, sarta niat ngawangian ka sarining
lemahcai”, malar jadi sambung léngkah, sambung lémék,
sambung rasa, keur nyambungkeun uga, tangtuna ogé ti
anu kantos aya ti heubeulna, ti biharina, sugan ngancik
di kiwari geusan ngambah ka supagi. Buhun ngajadi
bahan, biheunna, sara ngajadi sari keur pangaji.
Amit, tabé pun, hampura ingsun, anu diguar saukur
gambar, anu dipedar saukur nalar, piolaheun dina polah,
pilakueun dina lampah, malar katimu rupaning mustika
hirup, anu ngancik dina rasa anu katitipan, naon rupa nu
jadi wujud ieu sora, muga larap jadi tutur, pijalaneun
tatapakan dina aweuhan jalan anu kacida lamparna,
nangtu dina kacindekan Galur.
Sugrining galeuh kadeudeuh, sugrining galih ka asih,
tansah mugia, marganing galuh pangasuh. Tandes, jadi
élmu katut pangaweruh. Geusan pituduh jalan anu
lempeng.
Amit, sanés badé ngalalangkungan, sanes badé
nyanyahoanan, sanés badé mayunan anu ti heula, sanés
badé ninggalkeun anu pandeuri. Ieu mah mung mugia
pareng:
Nu jauh urang deukeutkeun.
Geus deukeut urang layeutkeun.
Geus layeut urang paheutkeun.
Geus paheut urang pageuhkeun,
Geus pageuh urang wangikeun.
Nu kungsi dihandeuleumkeun.
Nu kungsi dihanjuangkeun.
Urang cokot geusan teuleum.
Urang téang geusan midang.
Nya midang, di banjar karang.
Lebak panitisan bentang.
Nya bentang ti para Hyang.
Nu murba di alam padang.
Sapasini, saparanti,
Sa jalan, sareureujeungan,
Sareundeuk, saigel, sabobo, sapihanéan,
Ka cai jadi saleuwi,
Ka darat jadi salogak,
Malar hirup runtut raut sauyunan,
Pataréma rasa.
Geusan nyukcruk uga ti para luluhur,
Mapay tapak ti para Sanghyang Pudak,
Nu dipuluk mustikana,
Salaku pancer sajati,
Nu dihin ajaring tangtu,
Nu misti élmuning pasti,
Geusan ngadadali diri.
Dadalina uga ludra,
Manuk leuweung ménak lawung,
Lawungna di palawangan.
Nya lawangna geusan luang,
luangna ti pada urang.
urang nu nyorang , urang nu nyaring,
Nyorangna jalan séwangan,
Nyaringna ugeran kuring
Seja tandang seja tanding.
Tandang bari ngarawang,
Tanding bari ngariding.
Bari,nabeuh kohkol awi ,
Bahanna ku haur bitung,
Meunang nuar luhur gunung,
Sorana nyaring tang-ting-tung.
Ngelentrung lir anu ninun,
Nu sidongdang dina sahung,
Hateupna ku rangrang kawung
nu dijieun songkét Bandung.
Songan iket banda indung
Pun !!!
Mangga urang guar heula tina ieu carita SANGKURING
teh….
Dongeng atawa oge sok disebut legenda atawa sakakala
Sangkuriang mangrupakeun salah sahiji dongeng nu
paling kakoncara di tatar Sunda, malahan dongeng ieu
sumebar sa-nusantara, nu tangtu teu leupas jeung
kasundaan.
Upama nilik dina jalanna carita, asa ku pamohalan pisan
kunaon karuhun Sunda nyieun dongeng nu teu ilahar,
jiga nu euweuh gawe nyawang teh sakahayang rasa,
malahan aya sabagean urang Sunda nu ngarasa era
jeung mungkin manghanjakalkeun ku ayana dongeng
ieu, sabab ngabalukarkeun datangna pamoyokan batur,
majar urang Sunda turunan Anjing (Si Tumang tea),
urang Sunda teu uni hayang ngawin ka indung.
Tapi ke heula ki dulur,
didieu urang kudu lantip, da apan urang percaya luluhur
sunda lain jalma barodo, da sabodo-bodona oge maenya
nepi ka boga pamikiran yen jalma daek kawin jeung
anjing kalayan ngahasilkeun anak jalma, jeung piraku
deui parahu bisa ngajadi gunung mah. Sabalikna malah
urang percaya ku sababaraha bukti nu nganyatakeun yen
luluhur Sunda sugih ku pangarti, jembar ku pangabisa.
Didieu tangtu luluhur sunda ngahaja nguji pangarti jeung
ngadidik turunanana sangkan motekar dina nalungtik
naon pimaksudeunana, jeung apan geus jadi kabiasaan
yen dina unggal carita ngandung SILOKA.
Ku pinter-pinterna dina nyusun carita nepikeun unggal
carita karasana hirup jeung jiga nu nyata ayana, kurang-
kurangna lantip mah dina ngalenyepanana bisa
ngabalukarkeun kasamaran. Geura hayu urang guar naon
atuh harti eta carita teh.
Ringkesan dina carita Sangkuring teh CEUNAH Aya hiji
putri raja di tatar Sunda nu geulis kawanti-wanti endah
kabina-bina nu ngaranna Dayang Sumbi, tapi hanjakal
manehna diasingkeun ka leuweung alatan nandang
panyakit nu teu cageur-cageur, nu dianggap bisa
ngabalukarkeun boborna wibawa jeung komara sang
Raja. Dina sajeroning pangasingan, pikeun
ngaleungitkeun kakesel, nya sapopoena sok ngadon
ninun di saung ranggonna.
Hiji mangsa keur anteng ninun, taropong paragi
ngasupkeun benang kana rentangan anyaman benang
murag ka handapeun saung. Kulantaran keur kagok
digawe tambah hoream turun ti saung, Dayang Sumbi
ngucap ka sing saha bae nu daek mangnyokotkeun
jeung nganteurkeun eta alat ka manehna, lamun awewe
rek dijadikeun dulur, mun lalaki rek dijadikeun salaki..
Nya harita aya anjing jalu nu ngaran si Tumang nyokot
eta alat jeung nganteurkeun ka Dayang
Sumbi. Barang mireungeuh yen nu nganteurkeun
taropong teh mangrupa anjing jalu atuh kacida
ngagebegna ku alatan geus ragrag ucap nu keur elmu
sunda mah ucap teh sarua jeung sumpah nu teu
meunang dibolaykeun. Bari ngaheruk ku lantaran geus
sumpah tea, nya kapaksa Dayang Sumbi kudu
ngalakonan kawin jeung anjing nu ngaran si Tumang,
nepi ka boga budak lalaki nu kacida kasepna nu
dingaranan Sangkuriang.
Sangkuriang ti orok nepi ka mangkat baleg, salawasna
diasuh jeung diaping ku Si Tumang, kamana
Sangkuriang lumampah didinya si Tumang ngintil
marengan. Hiji mangsa Dayang Sumbi hayangeun pisan
jantung mencek, mani asa geus aya dina lentah, nya
gancang nitah Sangkuriang sangkan moro mencek jeung
kudu kabawa jantungna. Tapi dadak dumadakan harita
nepi ka sapoe jeput teu panggih jeung sato naon-naon,
sedeng waktu geus nyerelek maju ka burit. Sangkuriang
bingung ku lantaran can hasil nedunan kahayang nu jadi
indung, Sangkuriang sieun nu jadi indungna bendu mun
mulang teu mawa hasil. Barang ret ka si Tumang nya
timbul akalna, terus si Tumang dipanah jeung dicokot
jantungna, terus dibawa jeung dipasrahkeun ka
indungna. Ku Dayang Sumbi ditarima terus diasakan.
Dina sajeroning masak Dayang Sumbi ras inget ka si
Tumang, anu saterusna ditanyakeun ka Sangkuriang
kamana si Tumang. Barang ditanya kitu Sangkuriang
ngabetem teu ngajawab, tapi sanggeus disedek, ahirna
Sangkuriang wakca balaka, yen anu eukeur dipasak ku
Dayang Sumbi teh eta jajantungna si Tumang. Atuh
dadak sakala Dayang Sumbi ambek kacida sabab si
Tumang teh bapana Sangkuriang, bakat ku ambek sinduk
batok nu keur dipake masak harita ditakolkeun kana
sirah Sangkuriang nepi ka baloboran getih nu
ngabalukarkeun sirahna pitak jeung terus diusir.
Sangkuriang minggat teu puguh arah tujuan kalunta-
lunta asup leuweung kaluar leuweung naek gunung-
turun gunung, asup guha kaluar guha, nya bari ngelmu
sakapan-paran.
Gancangna carita liwat welasan taun Sangkuriang
tumuwuh jadi jajaka nu gagah kasep tur luhung ku elmu,
jembar ku pangabisa. Kersaning nu Maha Kawasa, hiji
mangsa panggih jeung Dayang Sumbi nu sacara lahir
wujudna teu robah lir parawan welasan taun geulis
kabina-bina lir widadari ti kahiyangan, lantaran ngagem
elmu awet jaya. Duanana pada-pada teu wawuh
pangrasana karek tepung munggaran harita. Barang
paamprok timbul tatali asih, pada-pada mentangkeun
jamparing asih geugeut layeut lir gula jeung peueut teu
bisa dipisahkeun, nya terus patali jangji rek hirup
babarengan ngawangun rumahtangga ka cai jadi saleuwi
ka darat jadi salogak.
Hiji mangsa Dayang Sumbi keur anteng nyiaran buuk
Sangkuriang, katenjo aya pitak dina sirah Sangkuriang,
harita Dayang Sumbi ngagebeg sabab ras inget ka nu
jadi anakna waktu keur leutik ditakol ku sinduk persis
palebah eta pitak. Nya gancang tatalepa tumanya ka
Sangkuriang nalungtik sajarahna eta pitak. Sanggeus
dicaritakeun nu sabenerna atuh kacida reuwasna horeng
eta Sangkuriang teh anakna nu geus heubeul diteangan
dianti-anti hayang kapanggih deui, atuh gancang ku
Dayang Sumbi dibejer-beaskeun yen sabenerna manehna
teh indungna kalayan menta ka Sangkuriang sangkan
pamaksudan hayang hirup laki-rabi jeung manehna
dibolaykeun, sabab teu mungkin anak kawin ka indung.
Ngadenge caritaan Dayang Sumbi kitu Sangkuriang teu
percaya, alesanana teu mungkin wujud nu jadi indung
bisa leuwih ngora tibatan dirina, Sangkuriang boga
anggapan yen caritaan kitu teh, sakadar alesan pikeun
ngabolaykeun jangji pasini. Dayang Sumbi terus
ngajebejerbeaskeun ceuk paribasa nepi ka beak dengkak
ngajelaskeun sangkan nu jadi anak sadar jeung narima
kana kanyataan nu tumiba, tapi Sangkuriang tetep teu
percaya jeung keukeuh maksa pikeun ngawujudkeun tali
rarabi rumahtangga, malahan jadi ngabuburu sagala
hayang harita keneh dilaksanakeun. Mireungeuh
Kahayang Sangkuriang kitu, Dayang Sumbi ngaheruk
buntu laku beakeun jalan pikeun nyingkahan, harita
timbul akal sangkan tali rarabi bisa dibatalkeun ku jalan
nyanggupan pikeun kawin tapi aya sarat, nyaeta
Sangkuriang dina jero sapeuting kudu bisa ngabendung
nyieun talaga gede jeung parahu pikeun lalayaran
madukeun kaasih, nu ceuk pikirna pamohalan eta sarat
bisa katedunan ku Sangkuriang.
Sangkuriang nyanggupan, kalayan gancang guragiru
ngumpulkeun madia baladna bangsa lelembut nu katelah
Guriang Tujuh, nya prak migawe naon nu dipikahayang
Dayang Sumbi. Teu kungsi sapeuting eta pagaweaan
ampir anggeus, atuh nempo kaayaan kitu Dayang Sumbi
kacida reuwasna, sabab sieun ku dosa.
Dayang Sumbi terus sidakep situhu tunggal mujasmedi,
jumerit menta pituduh Nu Kawasa sangkan Sangkuriang
teu bisa nganggeuskeun pagaweanana. Sangeus nampa
pituduh, gura-giru Dayang Sumbi ngerahkeun
masyarakat di wewengkon eta sangkan ngebeberkeun
jeung ngelebetkeun boeh rarang nu didamaran ku obor
nu nimbulkeun pantulan cahaya katingalina mangrupa
balebat tanda peuting rek ganti beurang, kitu oge ibu-
ibu jeung para wanoja dikeprik dimana-mana sangkan
gancang babarengan narutu lisung tutunggulan.
Ku ayana cahaya jeung lisung tutunggulan, hayam jago
jadi reang pating kongkorongok. Mireungeuh kajadian
kitu, Guriang Tujuh nu keur ngangsitkeun pagawean
kacida reuwaseun, atuh gancang kalabur ngalaleungit
deui teu sanggup neruskeun sabab sieun kabeurangan,
nu balukarna naon nu jadi sarat ti Dayang Sumbi teu
bisa direngsekeun ku Sangkuriang.
Ngarasa ditipu Sangkuriang kacida ambekna, parahu nu
can rengse terus ditalapung nya ragrag jadi Gunung
Tangkubanparahu, tunggul-tunggul sesa nuar kai pikeun
nyieun parahu robah ngajadi Gunung Bukittunggul,
sedengkeun tumpukan dahan, pangpang, rerenteng jeung
daun kai ngajadi Gunung Burangrang. Sangkuriang teu
puas, anu saterusna ngudag-ngudag Dayang Sumbi,
ceuk sakaol sapanjang jaman tepi ka wanci ayeuna
Sangkuriang masih terus ngudag-ngudak Dayang Sumbi.
Tah kitu ning carita si Sangkuriang anu turun tumurun
ka anak incu ti baheula dugika kiwari teh,,, padahal aya
HARTI dina carita nu kasungsi , Galur carita Sangkuriang
nu runtut kalayan cocog jeung kaayaan alam Pasundan,
hususna wewengkon ”Danau Purba Bandung” karasa
nyata tur hirup oge sakral. Hal ieu ngabuktikeun
kalinuhungan luluhur sunda nu nyusun carita.
Sangkuriang asal tina kecap Sang Kuring atawa INGSUN.
Gubragna Sangkuriang ka dunya hasil kawin si Tumang
jeung Dayang Sumbi ku alatan taropong murag.
Taropong hartina toropong nyaeta alat pikeun nempo
sangkan leuwih talilti, eces tur museur. Tumang teh
mangrupakeun anjing hideung tapi bangus jeung
buntutna koneng. Dumasar kana simbul-simbol warna
dina palsapah kasundaan , hideung perlambang bumi/
lemah nu ngabogaan sifat kateguhan, katetepan,
pengkuh, sedengkeun Koneng ngalambangkeun angin
sifatna kadunyaan. Jadi tina wujud Tumang ngandung
harti ieu carita perkara dunya jeung nu nuturkeun/turun
ka dunya (manusa) nu
mangrupakeun katetepan ti nu Maha Kawasa.
”Tumang ” tina basa kawi hartina hawu atawa dapuran
seuneu anu oge ngandung maksud hawa napsu,
sedengkeun ” dayang” nyaeta sebutan keur awewe, harti
lianna asal tina kecap dangiang / dahyang nu hartina
bangsa lelembut atawa halus. Dayang bisa oge
dihartikeun asal tina kecap dang (sarua jeung :
dangdang) jeung hyang ( anu suci). Sumbi nyaeta
seuseukeutna katimang (sing seukeut nya nimang),
sedengkeun upama dipenggel ngandung harti wujud diri
(SUM sarua jeung : SUMSUM / acining; bi = awewe = ibu
pertiwi = bumi). Jadi Dayang Sumbi ngandung harti sing
seukeut tinimangan, kudu lantip dina nyungsi harti
ngaguar rasa kanyahokeun sing taliti yen wujud diri teh
hakekatna suci nu asal tina acining ibu pertiwi/bumi nu
kaancikan ku napsu (Dayang Sumbi kawin ka si Tumang)
.
Palebah dieu nyata kalinuhungan luluhur urang Sunda
dina milih kecap pikeun ngalarapkeun pasangan hawa
napsu jeung wujud waruga, oge bisa luyu jeung harti
lian nu masangkeun harti hawu jeung dangdang.
Dayang Sumbi tetep geulis awet jaya , upama disungsi
bakal nganyatakeun yen ti jaman ayana manusa di dunya
tepi kaayeuna wujud diri manusa teh tetep geulis, pantes
teu robah strukturna, manusa teu bisa nyieun wujud, sok
sanajan tepi ka wujud geus pareot, ilaharna teu aya
manusa nu hayang ninggalkeun warugana, malahan tetep
dipikacinta dipikaasih, ku kuringna Dina palsapah/
kapercayaan Sunda netelakeun yen Sang Kuring atawa
Ingsun lain sifat ragawi/lahir, oge lain sifat rohani/batin,
tapi anu dilahiran jeung dibatinan. Ingsun (kuring)
mangrupakeun dat suci nu asal ti Gusti Nu Maha Suci nu
sapanjang di alam dunya ngancik dina wujud manusa
sakuringna-sakuring na.
Gumelarna ingsun ka dunya ngaliwatan cukang lantaran
indung bapa nu dina carita ngaliwatan indung nu ngaran
Dayang Sumbi sarta bapa nu ngaran Tumang. Di dunya
Ingsun ngancik dina wujud waruga/diri nu asal tina
acining / saripati dunya (dayang Sumbi), kulantaran kitu
hawa napsu salawasna marengan Sangkuriang (Tumang
sok ngintil marengan). Mun teu aya hawa napsu nu
marengan raga, tinangtu moal aya kahirupan di dunya
jeung moal aya ingsun nu gumelar ka dunya. Kusabab
eta waktu si Tumang di paehan Dayang Sumbi kacida
benduna, nu hartina lamun hawa napsu dipaehan tangtu
kapentingan raga kaluli-luli nu balukarna bakal leungit
kahirupan manusa di dunya (sawang kumaha balukarna
mun sarupaning napsu dahar/nginum, napsu gawe,
napsu birahi, napsu pikeun ningkatkeun diri jeung
napsu-napsu lianna dipaehan, tinangtu kahirupan di
dunya bakal punah), matak dina elmu Sunda mah teu
aya ajaran pikeun maehan napsu, ngan tangtu kudu
dikadalikeun, manusa sunda teu meunang ngasingkeun
diri ninggalkeun urusan dunya.
Hirup ingsun di dunya kudu ngabogaan elmu hasil
ngasah jeung olah pikir dina uteukna nu mancar dina
gawe nu rancage, nu dina carita disimbulkeun sirah
Sangkuriang ditakol ku sinduk tepi ka pitak.
Sangkuriang maksa hayang kawin ka Dayang Sumbi
ngandung harti, yen kulantaran Ingsun asal ti Gusti nu
hakekatna suci, tinangtu ngabogaan rasa jeung
tanggungjawab pikeun nyalametkeun diri/waruga asal ti
dunya nu diancikanana sangkan salamet kukuh mituhu
teu ingkar tina papagon kamanusaan, ku cara
ngamanunggalkeun kuring jeung kurungna dina hiji
parahu nu sahaluan sapanjang ngumbara ngalakonan
kahirupan di dunya (parahu pikeun lalayaran di talaga).
Dina ngalaksanakeun gawena, Sangkuriang dibantu ku
Guriang Tujuh (= Guru hyang tujuh), maksudna tujuh
pangawasa suci nu asal ti Gusti nu ngancik dina diri
manusa, nyaeta : pangawasa/gerak- langkah,
pangersa/kadaek, hirup, pangrungu/denge, awas,
pangandika/ ucap, pangangseu/ambeu, nu jadi guru jati
manusa pikeun nganyahokeun, ngarasakeun, nyaksikeun
kaayaan dunya jeung pangeusina, lain cenah lain beja
estuning dirasakeun ku sorangan sakuringna-sakuring
na.
Pon kitu deui digunakeun pikeun ngalalakon kahirupan
di dunya jeung ngudag kahayang/cita- cita sarta
ningkateun harkat jeung martabat dirina.
Boeh rarang dibeberkeun jeung dikelebetkeun dicaangan
obor, nyimbulkeun akal pikiran nu dicaangan ku elmu/
katerang/ kanyaho nu ditembrakkeun/ dikibarkeun atawa
diwujudkeun dina kahirupan (gawe akal pikiran). ari
Lisung tutunggulan nyimbulkeun napsu nu ngagolak
(gawe rasa/napsu), sedengkeun hayam jago pating
kongkorongok ngalambangkeun kasombongan jeung
katakaburan, nepak dada ngarasa ieu aing jago.
Elmu spiritual Sunda ngajentrekeun yen aya tilu unsur
dina diri manusa nu bisa ngawasa kana pamarentahan
diri, nyaeta kakuatan akal/pikiran, kakuatan rasa/napsu,
jeung kakuatan jati ingsun.
Dina perkara ieu ingsun kudu bisa ngadalikeun akal-
pikiran jeung rasa/napsu (ingsun jadi supir/nahoda) .
Lamun akal pikiran jeung rasa napsu geus miheulaan
ingsun (Sangkuriang kabeurangan lantaran boeh
dioboran jeung lisung tutunggulan nu terusna
kongkorongok) , tangtu kuring jeung kurung teu bisa
kawin (teu bisa manunggal), balukarna hirup manusa lir
ibarat parahu nangkub (Tangkubanparahu) teu bisa
dipake ngalakonan kahirupan di dunya (lalayaran di
talaga) nu didumasaran ku ajen luhung kamanusaan
jeung kasucian, tungtungna ngan bati hanjelu kaduhung
sagede gunung ibarat tunggul (Bukittunggul) , hate
nalangsa ngarangrangan ngarasa hirup euweuh ajen
(Burangrang) . Tapi sok sanajan batal kawin, ku lantaran
ngarasa boga kawajiban salila gumelar di dunya, Ingsun
(kuring) teu weleh ngudag-ngudag supaya kurung bisa
dikawin, nu kadangkala deukeut, kadang jauh. (ku
disilokakeun Sangkuriang ngudag-ngudag Dayang
Sumbi).
Ari anu jadi Intisari papatah nu dibewarakeun dina
Sasakala Sangkuriang nyaeta nyaritakeun kahirupan
manusa nu gumelarna ka dunya mangrupakeun papasten
ti Nu Maha Kawasa ngaliwatan cukang lantaran indung
jeung bapa. Ingsun ngumbara di dunya ngagunakeun
raga nu asal tina saripati dunya, nyaeta acining bumi,
acining cai, acining angin/hawa jeung acining seuneu
ngaliwatan kadaharan jeung inuman nu dikonsumsi,
napas jeung panas nu diserep. Kulantaran raga asal tina
saripati dunya, nya tangtu timbul napsu-napsu dina diri
manusa nu asal ti dunya, sedengkeun gumelarna ingsun
ka dunya
oge ngaliwatan raga nu ngabogaan napsu, sabab mun
teu aya napsu tangtu moal aya kahirupan di dunya,
kulantaran eta teu meunang maehan napsu, tapi kudu
dikadalikeun sangkan teu kabetot ku kadunyaan.
Elmu Sunda teu ngajarkeun manusa pikeun tatapa
ninggalkeun urusan dunya, sabab eta hartina sarua
jeung nu ngaleungitkeun hakekat kamanusaanana.
Keur kahirupan di dunya ingsun kudu motekar nempa diri
sangkan luhung ku elmu jembar ku pangabisa, tapi kudu
inget Ingsun lain urang dunya sabab asal ti Nu Maha
Suci nu tangtu ngabogaan kawajiban pikeun ngaping
jeung ngajaga diri sangkan sagala tekad, ucap jeung
langkah teu ingkar tina papagon kamanusaan jeung
kasucian (kawin/manunggaling kuring jeung kurung).
Dina raraga ngawulaan kabutuhan raga/kurung,,,,,
ingsun(kuring) ngagunakeun tujuh Pangawasa Gusti nu
ngancik dina dirina, nyaeta pangawasa, pengersa, hirup,
pangrungu, pangandika, awas jeung angangseu (guriang
tujuh tea).
Sakali deui,,, Kade masing taliti, yen dina diri manusa
teh aya tilu kakuatan nu bisa marentah diri, nyaeta akal-
pikiran, rasa-napsu jeung jati ingsun sorangan. Dina
perkara ieu, ingsun nu kudu jadi nahoda ngadalikeun
akal-pikiran jeung rasa-napsu pikeun kaperluan ingsun
ngalakonan kahirupan di dunya, sabab lamun akal-
pikiran jeung rasa-napsu geus miheulaan ingsun bakal
timbul kasombongan adigung-adiguna nu ngabatalkeun
manunggalna kuring jeung kurung pikeun ngahontal
kahirupan di dunya nu didumasaran kamanusaan jeung
kasucian. Mun nyana kitu lir ibarat parahu nangkub anu
balukarna bakal kaduhung jeung ngarasa hirup euweuh
hartina, tungtungna hate ngarangrangan nalangsa
saendengna. Kulantaran kitu, mangkahade upama can
bisa kawin, ingsun ulah eureun ngudag-ngudag kurung
sangkan bisa manunggal.
Kitu intisari harti nu kasungsi tina legenda Sangkuriang,
ku kituna pamugi pedaran ieu tiasa nambah
kareueus parawargi urang Sunda, yen bukti geuning
kalinuhungan luluhur urang Sunda teh. Nu leuwih
penting deui sanggeus harti, hayu atuh urang nyungsi
ka diri sorangan, naha tekad, ucap jeung lampah urang
geus tepi kana kana makna ieu carita Sangkuriang !!!.
palawrgi saDAYA, ieu mah sakadar cita-cita simkuring.
Da ahirna mah diwangsulkeun deui kana kasadaran diri
urang sewang-sewangan. Cindekna mah urang kedah
peheuyeuk-heuyeuk leungeun dina ngamumule ngaraksa
sareng ngariksa titinggal karuhun katut budaya Sunda
anu bisa jalan jeung dijalankeun dina ieu kahirupan ku
jalan mikacinta ka lemah cai (Ibu Pertiwi).
Sakitu bubuka catur, pangjajap, panyabda teda. Hatur
punten bilih kirang, luput tina lelepitna, nu disanggi
mung ukur sieur jeung beunyeur, tebih tina saenyaan.
Panyampurna tangtuna ti nu ahlina. Seja tampi masing
tepi, ka para pupuhu kanca, anu surti, nu sasawa, nu
sasiwi, nu saini, nu saSUNDA, nu saindung, nu sasia
INDONESIA .
Manawi bahan katampi, hapunten … sanes bade
ngabejaan bulu tuur, atanapi mamatahan ngojay ka meri.
Ieu mah mungguhing kajurung ku identitas sim kuring
salaku nonoman Sunda.
Amit mungkur. Hapunten sakali deui, bilih aya basa anu
kirang merenah sumarambah kana manah sareng matak
nyelekit kana ati. Mugi agung cukup lumur jembar
sihakasima.
Niat kuring aji-ning rasa.
Rasa goib titipan nu Maha Tunggal.
Tunggal sarasa , tunggal sa-pangawasa,
Jalan nu rahayu mapag alam kabagjaan,
Eunteungeun diri pribadi.
Basa mah gambaran rasa. Budi mah gambaran ati.
Ngancik’na raga salira.
Dina batin anu sidik, anu tara daek nga-bohong, jeung
di bohongan.
Jaga diri ati-ati. Pinasti hirup taliti
Dumugi mapagna pati.
Hirup pasti, ku cageur na, ku bageur’na ku bener’na.
Sing taat ka pamarentah.
Repeh rapih, beres roes, tur akur reujeung sasama.
Mahluk nu sugih hartina, beunghar harta, salamet hirup
kumbuhna.
Amjalu papadang ati.
Awaking bujang ka sakti.
Bisa maca bisa ngaji.
Ngajina na tungtung ati.
Macana na tungtung rasa.
Nu hurung dina jajantung.
Nu herangna, di kalilipa.
Hurung tanding dammar hurung.
Siang tanding dammar herang.
Anu hurungna, kurungan.
Anu herang, eusi rasa.
Kadi bulan, kadi sarangéngé ngahing medal.
Remet ménténg dina angen.
Anu ngilo dina tikoro.
Nu ngintip dina lalangit.
Buka ini buka rohani.
Buka sintung, bukakeun gedongan ati.
Pang mukakeun cahaya ti anu maha kawasa.
Supaya kapanggih bukti.
Huuung… … Ahuuung !!
Mugia sadayana aya dina kaRAHAYUan….
SAMPURNA RASANE INGSUN,,,,, SAMPURASUN !!!!

Papatah Kolot


1. Ulah Nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu
anggang, nu caket geura raketan, nu deukeut
geura deheusan, moal jauh tina wujud moal
anggang tina awak, aya naon jeung aya saha?
tina diri sorangan. cirina satangtung diri. pek
geura panggihan diri manehteh, ku maneh weh
sorangan, ulah waka nyaksian batur saksian
heula diri sorangan.
2. Sing Daek nulung kanu butuh, nalang kanu
susah, ngahudangkeun kanu sare, ngajait kanu
titeuleum, mere kanu daek, nyaangan kanu
poekeun.
3. Sing Waspada permana tinggal.
4. Saban-saban robah mangsa ganti wanci ilang
bulan kurunyung taun, sok mineng kabandungan
jelema, sanajan ngalamun salaput umur,
kahayang patema-tema, karep heunteu reureuh-
reureuh. dageuning nu bakal karasa mah anging
kadar ti pangeran, manusa kadar rancana, kabul
aya tinu Maha Agung, Laksana aya tinu Maha


Kawasa.

Sabtu, 23 November 2013

Sawer Budaya

1. Nyukcruk galur ti karuhun
    Nutur lacak para wali
    Nyambung ka bala rea
    Titinggal ti nini aki
    Ngawaris kabudayaan
    Seni sunda sawer asli

2. Seni sunda pikeun suluk
    Gambaran siloka diri
    Hirup ulah kajongjonan
    Mawa diri sing taliti
    Satincak make pikiran
    Pikiran ieu pepeling

3. Pepeling jalan pituduh
    Nuduhkeun diri sing lilir
    Hahalang lugay disinglar
    Mun hayang salamet diri
    Di dunya ukur ngumbara
    Peupeujeuh sing repeh rapih

4. Repeh rapih nu salembur
    Ka cai jadi saleuwi
    Ka darat jadi salogak
    Pageuh pakuat-pakait
    Ulah ingkah bali-lahan
    Ancrubna ngajadi hiji

5. Ngahiji ngajadi dulur
    Sadaya mahlukna Gusti
    Hubungan sabilulungan
    Kedalkeun katineung ati
    Ka ibu sareng ka rama
    Neneda ka Maha Suci

6. Neda agung cukup lumur
    Neda jembar pangaksami
    Bilih aya kalepatan
    Wireuh ayeuna sim kuring
    Nyawer anu pangantenan
    Nyanggakeun mugi ditampi

Selasa, 12 Februari 2013

Kaimanan


Iman ka Pangéran Anu Maha Tunggal dituliskeun dina ayat ka-2, di mana dinyatakeun kalayan teges yén sagala puji sarta ucapan sukur alatan hiji nikmat téh pikeun Alloh lantaran Alloh Nu Nyipta sarta nu jadi Asal ti sagala nikmat anu aya di ieu alam. Diantara nikmat éta nyaéta: nikmat nyiptakeun, nikmat ngatik sarta numuwuhkeun, sabab kecap Rabb (ربّ) dina kalimah Rabbul-'aalamiin (ربّالعالمين) henteu ngan boga harti Pangéran atawa Pangawasa hungkul, tapi ogé ngandung harti tarbiyah (التربية) nyaéta ngatik sarta numuwuhkeun. Hal ieu némbongkeun yén sagala nikmat anu katempo ku hiji jalma dina dirina sorangan sarta dina ieu alam asalna ti Alloh, lantaran Alloh Anu Maha Ngawasa di ieu alam. Hal ieu kudu diperhatikeun sarta dipikirkeun ku manusa sajero-jerona, sahingga ngajadi sumber rupa-rupa élmu pangaweruh anu bisa nambahan kayakinan manusa kana kaagungan sarta kamuliaan Alloh, sarta kapaké pikeun balaréa. Ku alatan kaimanan (katauhidan) éta mangrupa masalah anu poko, mangka dina jero surat Al Fatihah teu cukup dinyatakeun ku isarat waé, tapi ditegeskan sarta dilengkepan ku ayat 5, nyaéta: Iyyaaka na'budu wa iyyaka nasta'iin/إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِين (Mung ka Gusti abdi sadaya ibadah, sareng mung ka Gusti abdi sadaya neda pitulung).
Anu dimaksud ku kalimah "Nu ngawasa poé balitungan" nyaéta dina poé éta Allah hungkul anu ngawasa, sagala mahluk taluk kana kaagungNa sarta miharep nikmat sarta sieun ku siksaan-Na. Hal ieu ngandung harti jangji Alloh pikeun méré pahala ka nu gawéna alus sarta ancaman ka nu gawéna goréng. Ibadah anu aya dina ayat ka-5 samata-mata ditujukeun pikeun Alloh.

Al Fatihah ku Basa Sunda

Ayat kaTulisan ArabTarjamah basa Sunda
1.
بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيم
Kalayan asma Alloh, Nu Maha Murah, Nu Maha Asih.
2.
ٱلْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِين
Sadaya puji kagungan Alloh, Pangéran nu murbeng alam.
3.
ٱلرَّحْمَـٰنِ ٱلرَّحِيم
Nu Maha Murah, Nu Maha Asih.
4.
مَـٰلِكِ يَوْمِ ٱلدِّين
Nu ngawasa poé balitungan.
5.
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
Mung ka Gusti abdi sadaya ibadah, sareng mung ka Gusti abdi sadaya neda pitulung.
6.
ٱهْدِنَا ٱلصِّرَ ٰط ٱلْمُسْتَقِيمَ
Mugi Gusti maparin pituduh ka abdi sadaya kana jalan anu lempeng.
7.
صِرَ ٰطَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ ٱلْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلاَ ٱلضَّاۤلِّينَ
Nyaéta jalan jalmi-jalmi anu parantos dipaparin ni'mat ku Gusti, sanés jalan jalmi-jalmi anu kénging bebendon ti Gusti, sareng sanés jalan jalmi-jalmi anu salasar.